Tetaplah Bersih

Rabu, 02 November 2011


Baca: Mazmur 119:9-16
Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau. —Mazmur 119:11

Dalam perjalanan dinas di Philadelphia, setiap paginya saya berjalan melewati Broad Street menuju Balai Kota untuk naik kereta bawah tanah. Setiap hari saya melalui barisan orang yang sedang mengantri sesuatu. Mereka beragam dalam usia, suku bangsa, dan penampilan. Setelah tiga hari terheranheran melihat barisan itu, akhirnya saya bertanya kepada seseorang di tepi jalan mengapa orang-orang itu berbaris. Ia memberitahu saya bahwa mereka adalah para pelanggar hukum yang sedang dalam masa percobaan atau bebas bersyarat. Mereka harus menjalani tes setiap hari untuk membuktikan bahwa mereka bersih dari narkoba.
Hal ini merupakan gambaran gamblang yang menyadarkan saya tentang perlunya saya tetap hidup bersih secara rohani di hadapan Allah. Ketika pemazmur memikirkan bagaimana caranya untuk dapat hidup bersih, ia menyimpulkan bahwa kuncinya adalah dengan merenungkan dan menaati ajaran Allah. “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau. Terpujilah Engkau, ya Tuhan; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku. . . . Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan” (Mzm. 119:11-12,16).
Di dalam terang firman Allah, kita melihat dosa kita, tetapi kita juga melihat kasih Allah dalam Kristus. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yoh. 1:9).
Oleh anugerah-Nya . . . tetaplah bersih. —DCM

Tuhan, berilah kami kemampuan untuk mendengar-Mu
Ketika kami mencari kebenaran dalam firman-Mu:
Agar firman-Mu menunjukkan segala dosa kami
Dan membersihkan kami luar dalam. —D. De Haan

Bacalah Alkitab agar berhikmat, percayailah agar selamat, terapkanlah agar hidup kudus.

Bahan Yang Tepat


Baca: Matius 22:34-39; 28:16-20
Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab . . . dengan lemah lembut. —1 Petrus 3:15


Meski saya tidak mahir memasak, terkadang saya menggunakan sekotak bahan siap pakai untuk membuat kue. Setelah menambahkan beberapa butir telur, minyak sayur, dan air, saya mengaduk semua bahan itu. Untuk memanggang kue yang rasanya enak, sangatlah penting mendapat takaran yang pas dari bahan-bahan yang tepat. Hal ini menolong saya membayangkan hubungan antara hukum yang terutama (Mat. 22:36-38) dan Amanat Agung (28:19-20) dalam usaha kita memberitakan Injil.
Ketika Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya, Yesus tidak memperkenankan mereka untuk bersikap kasar dan acuh tak acuh saat mereka melakukan perintah itu. Kutipan-Nya tentang “hukum yang terutama dan yang pertama”, yakni mengasihi Allah dengan segenap hatimu, jiwamu dan akal budimu— segera diikuti dengan perintah untuk mengasihi “sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39). Di sepanjang Perjanjian Baru, kita menemukan bahwa teladan mengenai hidup yang berbelaskasihan dan menghormati orang lain ini dinyatakan di banyak tempat, di antaranya “pasal kasih” (1 Kor. 13) dan arahan Petrus untuk memberikan pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada pada kita “dengan lemah lembut dan hormat” (1 Ptr. 3:15).
Dalam semangat kita yang rindu untuk menceritakan tentang Kristus kepada orang lain, kita harus selalu menyertakan keseimbangan yang sehat dari dua bahan tersebut, yaitu Injil sejati dan kasih ilahi. Pesan istimewa yang luar biasa indah ini paling baik disajikan dalam kehangatan kasih Allah. —DCM

Tuhan, tolong aku untuk mengasihi dengan perkataan dan perbuatan,
Untuk menjangkau para pendosa dan memenuhi kebutuhan mereka;
Tuhan, buatku terbeban atas mereka yang terhilang dalam dosa,
Dengan belas kasihan dan kasih yang mengalir dari hatiku. —Fitzhugh

Kesaksian melalui hidup adalah kesaksian yang terbaik.

Mengapa Saya?


Baca: Mazmur 131

Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita. —Ulangan 29:29

Baru-baru ini saya membaca Mazmur 131, salah satu mazmur favorit saya. Di masa lalu, saya memandang pasal tersebut sebagai suatu dorongan untuk memahami bahwa misteri adalah salah satu sifat Allah yang istimewa. Hal ini menantang saya untuk menenangkan pikiran saya, karena saya tidak dapat memahami semua yang sedang dikerjakan Allah dalam lingkup kekuasaan-Nya.
Namun, kemudian saya melihat sisi lain dari jiwa Daud yang tenang: Saya tidak dapat memahami semua yang sedang dikerjakan Allah dalam diri saya, bahkan mencoba untuk melakukannya saja mustahil.
Daud membuat suatu perbandingan antara seorang anak yang telah disapih yang tidak lagi merengek untuk sesuatu yang sebelumnya ia tuntut, dengan suatu jiwa yang telah belajar hal yang sama. Itulah panggilan untuk belajar memiliki kerendahan hati, ketabahan yang terus-menerus, dan rasa puas dalam semua keadaan saya—apa pun itu—meski saya tidak memahami maksud Allah. Pemikiran Allah melampaui daya tangkap pikiran saya.
Saya bertanya, “Mengapa aku menderita? Mengapa aku merasa susah?” Bapa menjawab, “Tenang, anakku. Kau tak akan memahaminya sekalipun aku menjelaskannya. Percaya saja kepada-Ku!”
Maka, saya pun beralih dari merenungkan tentang teladan Daud kepada mengajukan pertanyaan pada diri sendiri: Dapatkah saya, dalam segala keadaan saya, “berharap kepada Tuhan” (ay.3)? Dapatkah saya menanti dalam iman dan kesabaran tanpa merengek dan tanpa mempertanyakan hikmat Allah? Dapatkah saya mempercayai-Nya ketika Dia mengerjakan dalam diri saya kehendak-Nya yang baik, berkenan dan sempurna? —DHR
Mungkin bukan bagianku
Untuk memahami arti dan misteri
Dari yang direncanakan Allah bagiku
Sampai suatu hari nanti! —NN.
Dalam dunia yang penuh misteri, bahagialah kita mengenal Allah yang mengetahui segala sesuatu.

Persekutuan Remaja 19 Maret